top of page

Kendra Sembuh dari Imunodefisiensi Primer SCID dengan Transplantasi Sumsum Tulang Belakang


Bubble boy
Foto: Pexels

Lima tahun silam, Siswo Haryoko (36) dan Nurul Hikmah Oktaviani (32) kehilangan anak pertama mereka, Khalifandra Rafsyaqib Haryoko, yang baru berusia tiga bulan, setelah dirawat di rumah sakit selama 15 hari dengan gejala awal demam tinggi. Khalifandra tidak mendapat diagnosa yang jelas mengenai penyakitnya dan baru belakangan diketahui mengalami imunodefisiensi.


Berbekal pengalaman tersebut, ketika anak kedua mereka, Kenziandra Abqari Haryoko (Kendra), menunjukkan gejala awal serupa, Siswo dan Nurul secepatnya memeriksakan Kendra dan melakukan tes imunitas.


Hasilnya, Kendra juga didiagnosa dengan salah satu penyakit imunodefisiensi primer (IDP), Severe Combined Immunodeficiency (SCID). Kisah bubble boy Khalifandra dan Kendra pernah dipublikasikan di website ini, tapi baru sampai awal pengobatan Kendra. Kali ini, Siswo menceritakan kembali mengenai kisah perjuangan keluarganya menghadapi SCID pada anak mereka hingga tahap penyembuhan.


Pasien Imunodefisiensi SCID
Siswo, Nurul, dan Kendra (Foto: Siswo Haryoko)

Dua Kasus Serupa


Anak kedua Siswo dan Nurul, Kendra, lahir dengan sehat pada tahun 2017--setahun setelah putra pertama mereka, Khalifandra, wafat. Ketika Kendra berumur dua minggu, muncul bercak putih di lidahnya--seperti bekas susu--yang sulit hilang ketika coba dibersihkan. Dokter menyatakan bercak tersebut hanya jamur biasa dan bisa hilang dengan obat. Namun, jamur selalu muncul kembali meski beberapa kali berobat.


Apa yang dialami Kendra mirip dengan almarhum kakaknya, Khalifandra, yaitu sakit yang tak kunjung sembuh. Pada usia dua bulan, Khalifandra mengalami demam yang tidak juga reda setelah tujuh hari. Setelah dirawat di rumah sakit selama 10 hari, Khalifandra melakukan tes imunitas (CD4 dan CD8) karena dokter mencurigai ada masalah pada kekebalan tubuhnya. Hasilnya, kadar imunitas Khalifandra memang rendah dan mendapat diagnosis penyakit imunodefisiensi primer. Sayangnya, pada hari ke-15, Khalifandra menghembuskan nafas terakhirnya.


Berbekal pengalaman melihat kondisi serupa, Siswo dan Nurul secepatnya membawa Kendra ke dokter sub-spesialis infeksi anak di sebuah rumah sakit swasta dan secepatnya melakukan tes imunitas (CD4 dan CD8). Dan, hasilnya sama dengan Khalifandra, imunitasnya rendah dan dokter imunologi mendiagnosis Kendra dengan penyakit imunodefisiensi.


Selanjutnya, Kendra dirujuk ke salah satu rumah sakit rujukan nasional, RS dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk penanganan lebih lanjut. Oleh dokter konsulen imunologi RSCM, dr. Dina Muktiarti, Sp.A. (K), Kendra, yang saat itu berusia 1,5 bulan, didiagnosa menderita salah satu penyakit imunodefisiensi primer, yaitu Severe Combined Immunodeficiency (SCID).


Penanganan Kendra


SCID merupakan penyakit genetik langka yang terjadi ketika kombinasi sel T dan sel B dalam sistem kekebalan tubuh tidak berfungsi sehingga tubuh rentan terkena infeksi bakteri, virus, atau jamur. Penyakit SCID termasuk kondisi yang disebut kegawatdaruratan medis pada anak atau pediatric emergency dan butuh penanganan segera. Jika tidak, penderita SCID jarang bisa mencapai umur satu tahun. Dalam kesehariannya, anak dengan SCID harus dijaga atau diisolasi dari lingkungan sekitarnya untuk meminimalisasi risiko infeksi. Oleh karena itu, disebut juga “bubble boy”.


Berikut beberapa hal yang dilakukan Siswo dan Nurul begitu Kendra didiagnosa SCID:


1. Bolak-balik ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatan dan melakukan terapi pencegahan infeksi, IVIG (intravenous immunoglobulin).


2. Memberikan obat-obat antibiotik, antivirus, dan antijamur setiap hari untuk mencegah infeksi.


3. Mengubah gaya hidup menjadi lebih steril.

Untuk penyembuhan penyakit SCID ini, dapat dilakukan dengan metode bone marrow transplant (BMT) atau transplantasi sumsum tulang. Siswo dan Nurul juga berencana menjalankan metode BMT tersebut pada Kendra.

Hanya saja, BMT merupakan prosedur yang serius dan berbiaya tinggi. Apalagi, di Indonesia tidak ada rumah sakit atau pusat kesehatan yang bisa menjalankan prosedur BMT ini. Kendra dan Siswo sempat menjajaki kemungkinan operasi BMT di Thailand dan Singapura, tapi biayanya masih cukup tinggi, sekitar 3 milyar rupiah.

“Karena sudah bertekad menyembuhkan Kendra, kami kumpulkan dulu dana untuk operasi BMT, meski diiringi kekhawatiran atas kondisi Kendra. Pasalnya, satu episode infeksi saja, bisa berakibat fatal,” cerita Siswo.

Kemudian, dr. Dina, mendapat akses ke ahli transplantasi sumsum tulang belakang, Professor Hany Ariffin, dari salah satu rumah sakit Malaysia, University of Malaya Medical Centre (UMMC) atau Pusat Perubatan Universiti Malaya (PPUM), yang bersedia melakukan operasi BMT untuk Kendra.

Setelah itu, mereka melakukan korespondensi via email, termasuk mengirim rekam medis Kendra. Untuk donor sumsum tulang belakangnya, Kendra akan menerima dari ayahnya.

Langkah selanjutnya adalah mengirimkan sampel darah Kendra dan orangtuanya untuk pemeriksaan human leukocyte antigens (HLA), untuk cek kecocokan donor. Ternyata, kecocokan HLA Siswo dan Kendra hanya 50%. Hal ini sudah diduga karena donor idealnya bisa cocok 100% dan minimal dimiliki oleh saudara kandung si anak.

Jika tidak ada saudara kandung yang cocok, opsinya adalah mencari donor lain melalui international stem cell registries. Namun, pencarian donor tersebut memerlukan biaya besar dan butuh waktu bulanan hingga tahunan, serta belum tentu dapat yang cocok.

“Kendra tidak dapat menunggu lebih lama lagi karena kondisinya yang pediatric emergency dan harus segera ditangani. Oleh karena itu, kami tetap menjalani operasi BMT di UMMC, Malaysia,” tambah Siswo


Menjalani Transplantasi Sumsum Tulang Belakang


SCID
Kendra saat bersiap operasi transplantasi tulang belakang (Foto: Siswo Haryoko)

Operasi BMT untuk Kendra dilakukan pada bulan Desember 2017 dengan Siswo sebagai donornya. Saat itu, usia Kendra sudah mau enam bulan. Operasi berjalan lancar, tapi Kendra masih tinggal selama beberapa waktu di UMMC untuk perawatan kesehatan pascaoperasi. Biaya yang dikeluarkan untuk menjalani operasi BMT dan perawatannya selama di Malaysia sekitar 200.000 ringgit atau hampir 700 juta rupiah-lebih murah dibanding di Thailand dan Singapura.

Ada risiko yang akan dihadapi Kendra sebagai pasien BMT, yaitu

1. Graft failure adalah kondisi ketika stem cell dari donor gagal tumbuh.

2. Graft versus host disease (GVHD), yaitu kondisi sel imun donor menyerang tubuh pasien karena dianggap sebagai agen asing.

“Graft failure tidak terjadi pada Kendra. Namun, risiko GVHD masih ada. Karena itu, periode pascatransplantasi ini yang bisa dibilang cukup berat untuk menjaga Kendra,” ungkap Siswo.

Pada bulan Maret 2018, Kendra pulang ke Indonesia. Oleh karena imunnya belum terbentuk sempurna pascaoperasi, Siswo dan Nurul tetap menjalankan gaya hidup steril seperti sebelum operasi, seperti:

  • Tetap rutin treatment IVIg.

  • Kendra tidak boleh ke luar rumah.

  • Menyimpan hand sanitizer di setiap sudut rumah.

  • Makanan dan air minumnya harus dimasak. Kendra banyak makan rebus-rebusan.

  • Kontak dengan orang lain juga terbatas. Hanya bertemu orangtuanya dan kedua kakek neneknya.

Meski sudah ekstra hati-hati, tetap saja Kendra terserang infeksi. Ada beberapa peristiwa infeksi pascatransplantasi yang dialaminya, antara lain:

  • Seminggu setelah pulang ke Indonesia pada bulan Maret 2018, Kendra mengalami infeksi lagi (yang ditandai demam tinggi). Dia pun harus dirawat lagi di RSCM selama seminggu.

  • Selesai dirawat, beberapa hari kemudian, Kendra demam dan harus masuk rumah sakit lagi. Ternyata, ada infeksi pada CPL-ya atau kateter vena yang dipasang untuk pengobatan dan perawatan. Untuk mengatasinya, Kendra pergi ke Malaysia lagi dan dirawat selama beberapa hari sampai teratasi.

  • Pada bulan September 2018, Kendra mengalami demam panas tinggi, sampai kejang-kejang dan badannya kaku. Kondisinya kritis dan akhirnya dirawat di RSCM selama tiga minggu. Ternyata, Kendra terserang penyakit ensefalitis atau radang otak. Penyakit tersebut bisa juga diatasi.

Sistem Imun Berkembang

Pada bulan Desember 2018, Siswo dan Nuruk pergi ke UMMC Malaysia untuk memeriksakan kondisi Kendra sesuai jadwal. Saat itu, diketahui bahwa sistem imunnya sudah berkembang baik, meski belum dalam level imun normal. Jadi, bisa dibilang operasi transplantasi sumsum tulang belakang setahun lalu itu berhasil. Oleh karena imunnya sudah mulai terbentuk, Kendra bisa mendapat imunisasi, tapi baru imunisasi dengan vaksin yang virusnya dimatikan.

Setahun kemudian, pada Desember 2019, Kendra check-up lagi ke Malaysia untuk melihat perkembangannya. Saat itu, Profesor Hany menyatakan sistem imun Kendra sudah bagus, tidak perlu treatment pasien imunodefisiensi lagi. Kendra pun sudah dapat menerima imunisasi dengan vaksin hidup

“Sebenarnya, kami diminta untuk cek lagi ke Malaysia pada Desember 2020. Namun, karena pandemi COVID-19, akhirnya tidak terlaksana dan belum bertemu lagi dengan Profesor Hany sampai sekarang. Meski begitu, melihat hasil pada tahun 2019 yang sudah bagus, jadi tidak mengapa jika kami belum cek lagi,” jelas Siswo.


Sembuh!


Imunodefisiensi Primer
Bersama dokter, ahli medis, dan staf UMMC Malaysia sebelum pulang ke Indonesia. (Foto: Siswo Haryoko)

Sejak tahun 2019 hingga saat ini (2021), Kendra tidak pernah mengalami infeksi berat lagi dan menjalani perawatan antiinfeksi karena sistem imunnya sudah terbentuk dengan baik. Kendra pun sudah bisa ke luar rumah, bermain, dan bertemu dengan orang lain. Bahkan, Kendra menghadapi pandemi COVID-19 seperti anak lain umumnya, yaitu mematuhi protokol kesehatan. Kendra bukan bubble boy lagi!

“Dulu, kami sering merasa putus asa menghadapi kondisi Kendra. Beberapa kali kami down dan menangis di hadapan dokter setelah mengetahui kondisi-kondisinya. Saat ini, kami selalu bersyukur mampu melalui itu semua, termasuk proses transplantasi,” ungkap Siswo lagi.

Dari pengalaman Siswo dan Nurul yang merawat Kendra, ini beberapa langkah yang bisa dilakukan ketika menghadapi anak dengan penyakit imunodefisiensi primer.

1. Ketika ada penyakit berulang atau tidak kunjung sembuh, langsung periksakan ke dokter ahli dan lakukan tes imunitas (CD4 dan CD8).

2. Sebaiknya, orangtua juga berkonsultasi dengan dokter imunologi.

3. Apabila sudah didiagnosa, lakukan gaya hidup steril penuh disiplin untuk menjaga anak dari serangan infeksi.

4. Patuhi tahap pengobatan dan upayakan kesembuhan sesuai saran dokter ahli.

5. Mengobati imunodefisiensi butuh waktu panjang dan biaya besar. Namun, jika tetap optimis dan merasa masih bisa mengupayakan, kesembuhan pasien imunodefisiensi bukan hal mustahil.

Oleh karena itu, ketika muncul gejala-gejala penyakit IDP pada anak Anda--seperti gejala yang dialami Khalifandra atau Kendra di atas--segera pergi ke dokter untuk memeriksakan dan memperoleh diagnosis yang tepat. Anda dapat juga email ke info@imunodefisiensi-indonesia.org untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai Imunodefisiensi Primer.


1,061 views0 comments
bottom of page