top of page

Sehari Bersama Latisha Azkadina Gumilar dalam Rutinitas Perawatan Medis Imunodefisiensi Primernya



Menjelang pukul 10.00 WIB, pada hari Selasa (29/7), saya melangkahkan kaki memasuki Gedung Pusat Kesehatan Ibu dan Anak, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kiara. Tampak lalu lalang para orang tua yang mengantar anaknya yang sedang bermasalah kesehatan. Setiap sudut di lingkungan RSCM terlihat sibuk memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat yang datang.


Hari itu, kami memiliki janji temu dengan Arianti, orang tua salah satu pasien imunodefisiensi primer (IDP), Latisha Azkadina Gumilar, untuk berbagi cerita mengenai gangguan IDP yang dimiliki oleh putrinya yang berusia 11 tahun tersebut. Tisha—panggilan akrab Latisha—didiagnosis mengidap Ataxia-telangiectasia (AT) dan diagnosis sekunder Nonfamilial Hypogammaglobulinemia.


Dan, pada hari itu, Tisha sedang ada jadwal kunjungan medis (kontrol) ke Poliklinik Alergi dan Imunologi—selanjutnya akan disebut “Poli Alergi”—RSCM Kiara. Aktivitas ini sudah jadi bagian rutinitas Tisha setiap bulannya. Setidaknya, sebulan sekali, Tisha harus kontrol ke Poli Alergi RSCM Kiara. Selain untuk memeriksa kondisi kesehatannya, juga untuk menjalani terapi IVIG (tidak langsung terapi).


(Latisha saat tiba di RSCM)


Sebagai pengidap IDP, Tisha jarang ke luar rumah untuk menjaga kondisinya. Jadwal kontrol ke RSCM pun jadi salah satu kesempatan Tisha untuk bepergian. Itulah sebabnya, saya dan Arianti membuat janji temu di RSCM.


Tepat pada pukul 10.00 WIB sesuai jadwal kontrolnya, tampak Arianti datang tergopoh-gopoh mendorong stroller yang membawa Latisha. Ia langsung menghampiri meja perawat di Poli Alergi untuk meminjam tabung oksigen karena Tisha mengalami sesak napas. Pasalnya, hari itu, Tisha tidak membawa tabung oksigen. Sedangkan, dia harus melalui perjalanan yang cukup jauh menggunakan motor untuk mencapai RSCM dari rumahnya di Bogor. Ditambah lagi, Tisha saat itu sedang sakit batuk.


Tisha sendiri mempunyai kondisi paru-paru kronis sehingga sering mengalami sesak napas dan membutuhkan tabung oksigen untuk meredakannya. Melihat kondisi Tisha yang mengalami sesak napas dan sakit batuk, dokter di Poli Alergi (dr. Dina Muktiarti) mengarahkannya ke Ruang IGD RSCM untuk mendapat perawatan sesak napas dan sakit batuknya.


Keluar Masuk Rumah Sakit

Sambil menunggu penanganan Latisha di ruang IGD RSCM, Arianti bercerita bahwa kondisi paru-paru kronis diidap Tisha bukan hanya karena gangguan IDP AT-nya. Namun, disebabkan juga ia telat mendapat diagnosis IDP sehingga berulang kali mengalami pneumonia selama bertahun-tahun.


Tisha mulai sering sakit sejak usianya 1,5 tahun saat masih tinggal di Tangerang. Dengan gejala demam tinggi, sesak napas, dan batuk, Tisha pun didiagnosis pneumonia dan mesti rawat inap. Pada usia 2 tahun, Tisha kembali rawat inap dengan diagnosis yang sama. Bahkan, Tisha sempat kejang dan koma begitu kembali dari rumah sakit. Syukurlah, Tisha pulih dari koma lima hari kemudian.


(Kiri: Latisha pertama kali dirawat di rumah sakit; Kanan: Latisha ketika sadar dari komanya)


Selanjutnya, setiap beberapa bulan, selama bertahun-tahun, Tisha terus dirawat inap di rumah sakit dengan diagnosis yang sama, yaitu pneumonia. Dokter yang kala itu menangani Tisha curiga ada penyakit lain yang menyebabkan gejala pneumonia berulang. Namun, diagnosis spesifiknya masih sulit ditentukan.


Ketika berusia 8 tahun, Tisha—yang sudah pindah ke Bogor bersama keluarganya—dirawat selama hampir tiga bulan, tapi kondisinya tetap menurun. Setelah dirujuk ke RSCM, terungkap bahwa Tisha memiliki disfagia yang membuatnya kesulitan menelan sehingga sering tersedak dan mengalami pneumonia. Kondisi paru-paru Tisha juga sudah kronik.


Selain itu, hasil pemeriksaan immunoglobulin Tisha juga rendah. Setelah melalui pemeriksaan lanjutan di Poli Alergi dan Poliklinik Neurologi RSCM, diketahui bahwa Tisha memiliki IDP berupa AT (ataksia), yaitu gangguan saraf bawaan yang memengaruhi gerakan tubuh, keseimbangan, dan cara bicaranya.


Tisha juga didiagnosis IDP sekunder, Nonfamilial Hypogammaglobulinemia, yaitu sebuah masalah pada sistem kekebalan tubuh yang mengakibatkan rendahnya kadar antibodi dalam tubuhnya secara terus menerus.


Langkah-Langkah untuk Perawatan

“Begitu tahu diagnosisnya IDP, ada sedikit rasa lega karena bisa tahu pengobatan Tisha yang tepat seperti apa. Dulu, sering bingung karena dikasih obat ini-obat itu, tapi tidak membaik juga,” ungkap Arianti mengenai kondisi Tisha saat ini.


Untuk perawatan saat ini, selain minum obat, Tisha rutin melakukan terapi IVIG satu bulan sekali untuk menjaga kadar imunoglobulinnya dalam kondisi optimal. Terapi IVIG juga membantunya agar tidak sering menggunakan tabung oksigen seperti sebelum ia mendapat diagnosis IDP.


(Kiri: Latisha ketika menjalani terapi IVIG; Kanan: IVIG yang digunakan Latisha)


Ada beberapa proses yang dilakukan sebelum menerima terapi IVIG. Pertama, Tisha perlu melakukan pemeriksaan medis dulu ke Poli Alergi RSCM Kiara untuk mengetahui kondisi kesehatannya saat itu. Setelah itu, akan diberikan jadwal terapi IVIG pada hari yang berbeda. Biasanya, 2-3 hari setelah kontrol.


Ketika terapi IVIG, Tisha akan menginap di RSCM karena pemberian IVIG baru tuntas setidaknya sehari semalam. Dalam satu kali terapi, Tisha memerlukan empat botol IVIG—satu botol IVIG beratnya 4 gram, disesuaikan perbandingannya dengan berat badan Tisha.  


Selain untuk terapi IVIG, pemeriksaan medis rutin dapat juga untuk mengetahui masalah kesehatan yang kala itu sedang dialami Tisha. Tingkat immunoglobulin rendah membuat Tisha rentan terhadap penyakit apa pun.

 

Misalnya, ketika kontrol, diketahui Tisha memiliki masalah pada paru-paru saat itu, maka dokter dari Poli Alergi akan merujuk Tisha ke Poliklinik Respirologi. Atau, memiliki masalah jamur pada kulit kepala seperti saat saya bertemunya, dokter akan merujuknya ke Poliklinik Kulit. Jika Tisha mau memeriksakan diri ke poliklinik lain, memang akan dan perlu mendapat rujukan dari Poli Alergi. Oleh karena itu, dalam satu bulan, Tisha dapat beberapa kali balik ke RSCM untuk mendapatkan perawatan lanjutan rujukan dari Poli Alergi.


Perlengkapan ke Rumah Sakit

Sejumlah perlengkapan selalu disiapkan Arianti untuk dibawa ketika Tisha kontrol ke rumah sakit. Yang utama adalah membawa stroller untuk memudahkan mobilitas Tisha. Tisha memang mengalami kesulitan berjalan karena gangguan kesehatan yang dimilikinya.


(Latisha dan sang ibu, Arianti, saat berada di Ruang IGD RSCM untuk menunggu ketersediaan kamar perawatan)


Perlengkapan lain yang dibawa adalah baju ganti, pampers, dan tisu basah. Tidak lupa, Arianti selalu membawa feeding guret yang sering digunakan Tisha untuk membantunya minum. Untuk asupannya, Tisha selalu membawa susu formula untuk anak-anak dan makanan-makanan ringan, seperti biskuit, roti, atau kue-kue tradisional.


“Kalau Tisha sedang mengalami sesak napas seperti sekarang ini, dia suka nggak mau makan siang. Gantinya, saya berikan dia susu,” cerita Arianti.


Tidak lupa tentunya adalah membawa sejumlah dokumen kesehatan Tisha. Seperti, surat diagnosis bulan sebelumnya untuk rujukan dokter pada pemeriksaan sekarang. Semua biaya yang dikeluarkan untuk perawatan dan pembelian obat Tisha untungnya telah ditanggung BPJS Kesehatan. Termasuk, biaya terapi IVIG, yang dalam sekali terapi memerlukan empat botol IVIG. Harga satu botol IVIG adalah Rp5 juta. Jadi, sekali terapi IVIG, Tisha dapat mengeluarkan biaya Rp20 juta tanpa BPJS Kesehatan.


(Kakak Latisha, Muhammad Aqilla Gumilar, ketika dulu menemani Latisha untuk kontrol ke RSCM)

 

Hari itu, setelah mendapatkan penanganan di Ruang IGD—sesuai prosedur dari RSCM—Tisha akan menjalani rawat inap dulu sekitar lima hari untuk memulihkan kondisinya (dari sakit batuk). Setelah itu, Tisha langsung lanjut menjalani terapi IVIG. Total sekitar satu minggu Tisha menjalani rawat inap di RSCM.


Selesai menjalani terapi IVIG, Tisha dan Arianti akhirnya dapat kembali ke rumah. Jika sebelumnya, dari rumah di Bogor ke RSCM di Jakarta, transportasinya motor, perjalanan pulang kali ini menggunakan kereta komuter Jabodetabek (KRL). Semuanya Tisha jalani penuh semangat sebab, menurut Arianti, rutinitas ke rumah sakit jadi kesempatan Tisha untuk ‘jalan-jalan’ di luar rumah.

 


Baca Juga:


(Foto: Freepik, Dok. PPIPI, Dok. Pribadi)

89 views0 comments
bottom of page