top of page

Di Balik Diagnosis Imunodefisiensi Primer: Dukungan Keluarga Penyemangat Latisha Azkadina Gumilar



Sudah sejak berusia 1,5 tahun, Latisha Azkadina Gumilar, sudah sering sakit dan keluar-masuk rumah sakit dengan diagnosis penyakit pneumonia. Namun, baru pada usia 8 tahun, dia mendapat diagnosis pasti berupa Imunodefisiensi Primer (IDP) dengan penyakit Ataxia-Telangiectasia (AT) dan diagnosis sekunder Nonfamilial Hypogammaglobulinemia. Bagaimana keluarga dari Latisha menerima tegaknya diagnosis tersebut?


Sering Mengajak Jalan-Jalan

Latisha yang penuh semangat ketika merayakan ulang tahunnya yang ke-11

Ketika kami menemani dalam sehari Tisha—panggilan akrabnya—saat melakukan rutinitas perawatan medisnya—dapat dibaca pada artikel-artikel sebelumnya—satu hal yang kami perhatikan adalah Tisha selalu bersemangat menjalani rutinitas tersebut. Ini tidak terlepas dari peran sang ibu, Arianti, yang senantiasa memperlakukan Tisha seperti anak-anak pada umumnya.

 

Arianti tidak ragu mengajak Tisha untuk sesekali jalan-jalan ke luar rumah. Misalnya, pergi berlibur ke tempat wisata atau mengikuti acara-acara untuk anak berkebutuhan khusus di mal atau tempat-tempat tertentu lainnya. Tidak jauh beda dengan anak-anak lain, Tisha juga selalu bersemangat jika ada kesempatan pergi ke luar rumah karena sepanjang hari harus berada di dalam rumah untuk menjaga kondisinya.

 

“Saya pengennya dia jangan fokus ke sakitnya, melainkan tetap seperti anak-anak biasa dan menikmati hidupnya. Kalau nggak saya ajak jalan-jalan karena nunggu dia sembuh, ya, kapan sembuhnya?” alasan Arianti.

 

Lalu, bagaimana cara menjaga kesehatan Tisha? Ketika tiba kembali di rumah dari aktivitas di luar dan dia merasa lelah, pemulihan Tisha akan dibantu dengan alat nebulizer untuk  melancarkan pernapasannya. Sejauh ini, cara tersebut cukup membantu menjaga kondisi Tisha yang selalu senang jika bisa berpergian.


Latisha saat jalan-jalan atau liburan bareng kakaknya, Muhammad Aqilla Gumilar, dan sang ibu, Arianti

Sempat ‘Cemburu’

Tisha yang tetap terlihat bersemangat untuk beraktivitas tidak lepas juga dari dukungan keluarganya yang lain. Mereka mengetahui kondisi Tisha yang sehari-hari tidak bisa bermain di luar rumah. Karena itu, nenek atau sepupunya yang lain sering mengunjungi dan bermain dengan Tisha di rumah. Tisha pun tidak merasa kesepian, senantiasa ceria. Sebaliknya, sesekali Tisha yang mengunjungi rumah nenek atau sepupunya tersebut. Mereka juga sering bersama-sama ikut berlibur mengunjungi tempat wisata. 


Tertawa bareng sang kakak, Aqilla, yang juga sangat ngemong Latisha saat ini

Memang, perhatian keluarga saat ini banyak tercurah pada Tisha. Diakui Arianti, hal ini dulu sempat membuat kakak Tisha, Muhammad Aqilla Gumilar, yang usianya berbeda dua tahun dari Tisha, merasa kurang diperhatikan. Namun, saat ini sudah berubah.

 

“Abang—panggilan akrabnya—kan, waktu itu masih kecil, jadi dia belum paham. Begitu dia mulai sekolah, saya kasih pengertian ke dia bahwa adiknya ini sakit dan butuh perhatian lebih khusus. Saya ajak abangnya untuk lebih sayang juga ke Tisha,” terang Arianti.

 

Sekarang, Aqilla sudah kelas dua SMP sehingga sudah lebih paham. Malah, menurut Arianti ikut lebih ngemong. Kalau Arianti tidak ada di rumah dan Tisha tidak dibawa, abangnya yang akan mengurus Tisha, menyuapi makan dan memberi susu serta mengajaknya bermain.

 

Merasa Lega

Penerimaan dan dukungan keluarga tersebut tidak hanya membuat Tisha tetap bersemangat menjalani hari-harinya sebagai pasien IDP. Arianti sendiri merasa terbantu oleh keluarganya untuk menjalani perawatan rutin Latisha yang sebenarnya berbelit-belit dengan segala peraturannya.



Arianti mengaku masih banyak ‘PR’ untuk memeriksakan kondisi Tisha untuk perawatan sekaligus supaya Tisha tetap bisa beraktivitas dengan baik. Ini membuatnya harus sering bolak-balik dari rumahnya di Bogor ke RSCM di Jakarta. Capek? Pasti. Namun, Arianti ikhlas dan bertekad selalu merawat Tisha secara optimal. 


Selain itu, setelah merasa kebingungan dan mengalami kesulitan dalam menemukan penyebab penyakit yang diderita Tisha, Arianti kini sedikit lega dengan kejelasan diagnosis IDP pada Tisha. Dengan begitu, Arianti dapat menjalani pengobatan dan perawatan IDP yang sesuai untuk Tisha. 


Dari kisah Tisha, kita dapat melihat bahwa diagnosis dini memegang peranan penting dalam penanganan IDP. Kondisi serius yang dialami Tisha dalam jangka waktu yang cukup panjang—bahkan sempat koma—menjadi gambaran sulitnya mengidentifikasi masalah kesehatan yang mendasari tanpa pemahaman yang tepat tentang IDP.


Keterlambatan dalam mendiagnosis IDP sering kali mengakibatkan penundaan pengobatan yang sesuai, juga meningkatkan risiko komplikasi akibat kelambatan dalam penanganan. Oleh karena itu, kesadaran akan tanda-tanda awal penyakit serta pemeriksaan rutin sangatlah penting untuk mendeteksi IDP dengan cepat.


Dengan diagnosis dini, dapat diambil langkah-langkah intervensi yang sesuai untuk memastikan perawatan yang optimal bagi pasien IDP, mencegah risiko komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup mereka.



Baca Juga:


(Foto: dok. Pribadi, dok. PPIPI)

16 views0 comments
bottom of page